Wednesday, 2 September 2015

Ponsel sang pengubah permainan di dunia maya

Kehadiran ponsel cerdas yang segala bisa telah mengubah perilaku pengguna internet, dan para pemain di dalamnya Indonesia is a "mobile first" country. Kalimat ini mudah ditemukan di berbagai tulisan tentang perkembangan penggunaan ponsel cerdas (smartphone) di Indonesia. Maksudnya kurang lebih, banyak orang Indonesia memiliki peranti bergerak ini sebagai peranti digitalnya yang pertama.

Istilah yang sama juga sering digunakan untuk menjelaskan dari mana masyarakat mengakses internet untuk pertama kalinya. Artinya, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang penduduknya mengenal internet pertama kali lewat ponsel (telepon selular), dan/atau ponsel cerdas.

Telekomunikasi seluler di Indonesia baru mulai berkembang sejak industri GSM (Global System for Mobile Communication) populer pada 1993. Seperti dilansir Okezone (2012), perkembangannya ditandai dengan proyek percontohan seluler digital PT Telkom di pulau Batam dan Bintan.

Lalu PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) muncul menjadi operator GSM pertama di Indonesia yang menggunakan SIM Card (1994). Disusul kemudian oleh Telkomsel yang didirikan Telkom (1995), dan PT Excelcomindo Pratama (1996), sekarang dikenal sebagai XL Axiata.

Hingga akhir 1999, baru ada 2,5 juta pelanggan seluler di Indonesia. Namun pada 2014 angkanya diperkirakan mencapai 340 juta pelanggan. Bahkan lebih banyak daripada jumlah penduduk Indonesia.
Gambaran pengguna peranti bergerak asal Indonesia
© Consumer Barometer /Google
Maraknya kepemilikan ponsel cerdas, misalnya tampak dari data yang dirilis Ambient Insight (2015). Datanya menyatakan, penjualan ponsel cerdas di Indonesia melonjak dari 6 persen pada 2011 menjadi lebih dari 31 persen dibanding jumlah populasi pada 2014. Angka 31 persen ini kira-kira setara dengan 77,5 juta orang.

Namun data US Census yang dikutip Mary Meeker menyatakan lain. Menurut data mereka, penetrasi ponsel cerdas Indonesia hanya mencapai 19 persen pada 2014. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, maka angkanya "hanya" mencapai 48 juta.

Sedangkan hasil survei yang dilakukan Google, melalui Consumer Barometer miliknya, pada 2014 menyatakan pengguna ponsel cerdas mencapai 28 persen. Survei yang melibatkan 1.000 responden ini, pada 2015 menunjukkan peningkatan menjadi 43 persen; sementara PC hanya sekitar 15 persen, dan sabak digital (tablet) hanya 4 persen (lihat gambar).

Jika hasil survei Google yang digunakan untuk menggambarkan jumlah pengguna ponsel cerdas di Indonesia pada 2015 dibandingkan jumlah populasi yang mencapai 250 juta, angkanya kira-kira mencapai lebih dari 100 juta ponsel cerdas yang beredar.

Pertumbuhan ini, menurut Wakil Presiden konsultan Frost & Sullivan, Ajay Sunder, akan berlangsung hingga 2020. Saat itu, diprediksi Indonesia akan memiliki sekitar 1,7 miliar peranti yang terhubung ke internet, dengan lebih dari 470 juta pelanggan operator, dan tak kurang dari 200 juta pengguna aktif internet.

Lonjakan pengguna yang luar biasa dalam 20 tahun terakhir ini, juga diiringi perkembangan teknologinya. Selain untuk menelepon dan mengirim pesan singkat (SMS), ponsel kini dilengkapi beragam fitur termasuk koneksi internet, yang membuatnya layak menyandang kata "cerdas".

Lalu apa yang berubah?

Penggunaan aplikasi pengirim pesan di Indonesia, dibandingkan dengan beberapa negara lain di dunia
© The Connected Consumer Survey 2015 /Analysys Mason Limited 2014
Survei Analysys Mason (2014) bertajuk "The Connected Consumer Survey 2015" menyatakan pengguna ponsel di Indonesia paling doyan mengirim pesan instan (instant messaging) dan/atau bermedia sosial. Persentasenya mencapai sekitar 85 persen, jauh di atas negara-negara Eropa seperti Prancis, Jerman, dan Spanyol, yang masing-masing mencatat persentase 35 persen, 30 persen, dan 50 persen.

Sementara, agregat data statistik We Are Social yang dirilis Maret 2015 menunjukkan, pengguna media sosial lewat peranti bergerak sudah mencapai 64 juta. Padahal, total pengguna media sosial di Indonesia adalah 74 juta.

Artinya, lebih dari 80 persen pengguna sosial tanah air mengaksesnya lewat peranti bergerak, di dalamnya termasuk sabak digital. Sayangnya, data itu tak memisahkan berapa banyak yang menggunakan ponsel cerdas.

Masih mengutip data We Are Social, di antara para pengguna media/jejaring sosial tersebut Facebook menjadi jejaring sosial terpopuler, dengan persentase mencapai 14 persen. Disusul pengguna aplikasi berkirim pesan WhatsApp 12 persen, lalu pengguna Twitter 11 persen.

Media sosial plus ponsel (dan ponsel cerdas), menjadi kombinasi yang pas. Setiap pemilik ponsel cerdas kini tak sekadar punya saluran sendiri untuk berbagi, namun juga bisa melakukannya di mana saja.
Bertebaranlah konten-konten foto atau video yang dihasilkan dengan ponsel di tangan. Pengguna Twitter bisa berkicau apa saja, kapan saja. Para pengguna Facebook sibuk saling komentar. Begitu pula media dan jejaring sosial lain, diramaikan para pengguna lewat gawai di genggaman. Sesuatu yang tak terbayangkan 20 tahun lalu.

Laporan Consumer Barometer Google mengonfirmasi, kegiatan sehari-hari terpopuler yang berhubungan dengan penggunaan ponsel cerdas di Indonesia adalah mendengarkan musik dan membuat foto atau video.
Perilaku lain yang populer lewat gawai di tangan netizen Indonesia adalah bertransaksi lewat internet.
Laporan Mobile Ecosystem Forum (MEF) pada 2014 menyatakan, pengguna ponsel Indonesia gampangnya disebut sebagai konsumen yang belanja lebih banyak, mengeluarkan uang lebih besar, dan lebih banyak melakukan hal-hal lain dibanding pengguna lainnya di dunia.

"Para pengguna ponsel Indonesia adalah para pengguna yang sangat antusias," kata laporan itu.
Dalam polling MEF, 79 persen konsumen ponsel Indonesia, melakukan transaksi lewat gawainya pada 2014. Angka ini meningkat 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan tahunan yang mencapai 15 persen ini, hanya bisa dikalahkan Brasil, 24 persen, itupun karena Piala Dunia sedang berlangsung.

Cerita yang unik dari transaksi lewat ponsel ini adalah, tingginya pembelian terhadap barang-barang fisik. Meski proses transaksi berlangsung daring, rupanya barang-barang yang diincar sebagian besar masih merupakan barang-barang non-digital. Angkanya menyatakan, pada 2013 ada 1 dari enam pengguna melakukan transaksi pembelian barang fisik. Setahun kemudian, angkanya naik hampir dua kali lipat.
Penjualan nada dering (ringtone) memang sempat meledak, namun menunjukkan penurunan pada 2014, dari 52 persen menjadi 49 persen. Trennya beralih ke pembelian barang-barang digital seperti aplikasi di ponsel cerdas, yang pada 2014 naik dua kali lipat menjadi 12 hingga 22 persen.
Hasil survei seputar penggunaan ponsel cerdas
© Consumer Barometer /Google

Konsumsi berita lewat ponsel

Meski media daring di Indonesia sudah tumbuh sejak 1995, dan ponsel mulai populer sejak 1999, sayangnya belum bisa ditemukan data konsumsi terhadap berita dari peranti bergerak saat itu. Data yang bisa digunakan antara lain dari survei Yahoo! TNS Net Index pada 2013.

Data itu menunjukkan, mencari berita sebagai aktivitas utama pengguna ponsel pada 2011 persentasenya adalah 54 persen, naik 57 persen pada 2012, dan pada 2013 naik lagi menjadi 60 persen. Survei Yahoo! itu juga menyatakan, konten seputar olah raga, film dan musik, serta gosip selebriti menjadi topik terfavorit. Survei itu menanyakan topik yang paling dicari dalam 30 hari terakhir sebelum pertanyaan survei diajukan.

Pada 2015, potretnya bisa dilihat dari survei Consumer Barometer Google. Datanya menunjukkan, mencari berita sebagai aktivitas utama yang dilakukan pengguna ponsel cerdas hanya mencapai 36 persen (lihat gambar). Angka ini hanya beda 2 persen lebih tinggi dari pilihan menjadikan ponsel cerdas sebagai jam pengingat (alarm clock). Survei Google ini dilakukan terhadap 7.020 responden.
Namun patut diingat, survei keduanya punya metode yang berbeda.
pengguna ponsel cenderung tidak mengunjungi beranda
Perubahan perilaku lainnya dalam hal konsumsi berita di media daring lewat ponsel, adalah menurunnya akses melalui beranda (homepage). Kasus paling menarik muncul dari bocoran data lalu lintas pengunjung The New York Times yang sempat dibahas di berbagai media. Beberapa di antaranya menggadang fenomena ini sebagai "The death of homepage".

Beranda situs media daring asal Amerika Serikat itu mengalami penurunan kunjungan secara drastis dalam tiga tahun, sejak 2011 hingga 2013. Namun, total lalu lintas pengunjung ke situs itu sebenarnya tak jauh berubah. Lalu dari mana datangnya kunjungan tersebut jika tak melalui beranda lagi?
Lembaga analitik Chartbeat, mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Ternyata, akses melalui beranda situs beralih ke artikel tunggal yang tersebar di media sosial. Chartbeat punya tiga kesimpulan atas fenomena tersebut.

Pertama, pengguna ponsel cenderung tidak mengunjungi beranda, dibandingkan pengunjung dari desktop maupun dari sabak digital. Padahal, pengguna ponsel cerdas untuk mengakses internet terus meningkat secara global dari tahun ke tahun.

Kedua, kunjungan ke situs yang berasal dari media sosial, misalnya Facebook, juga enggan melanjutkan kunjungannya ke beranda. Hanya 6 persen pengunjung situs melalui Facebook yang mau menengok beranda.

Ketiga, pengunjung situs dari Facebook di desktop atau tablet, hanya setengahnya yang menengok beranda dibandingkan pengunjung yang langsung datang dari desktop (tidak melalui Facebook). Dari ponsel, angkanya lebih dramatis. Dari total pengguna ponsel yang berkunjung ke situs melalui Facebook, hanya sepertiga yang mau menengok beranda.

Meski kasus di atas tak semuanya berasal dari media daring di Indonesia, namun cukup untuk menggambarkan bagaimana kehadiran ponsel, khususnya ponsel cerdas, telah mengubah banyak hal di dunia maya. Penelitian lebih lanjut masih sangat dibutuhkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih nyata di Indonesia.


(sumber)

No comments:

Post a Comment